Minggu, 15 April 2018

Tutorial Mengaktifkan Imajinasi ala Rocky Gerung




Jagat raya Indonesia lagi heboh. Rocky Gerung, salah satu pengajar mata kuliah filsafat Universitas Indonesia di acara Indonesian Lawyer Club bilang, “kitab suci itu fiksi.”

Banyak yang tak terima, tapi banyak juga berusaha menerima argumen Rocky itu. Tapi, yang menarik buat saya bukan masalah kitab suci yang disebut fiksi oleh Rocky. Tapi argumen Rocky yang nyebut bahwa fiksi itu baik, sedangkan yang buruk itu fiktif.

Saya cukup heran juga, sejak kapan sebuah kata bisa dihakimi dengan penilaian baik-buruk? Bukankah kata fiksi yang merupakan kata benda dan fiktif yang merupakan kata sifat hanyalah sebuah penanda dalam bahasa? Bagaimana bisa kata benda ujug-ujug menjadi baik dan kata sifat tiba-tiba jadi buruk. Wah, parah nih!

Oke, tapi baiklah. Seperti saat saya menerima permohonan maaf  mantan pacar, buat sementara saya terima pendapat Rocky tentang fiksi (kata benda) sebagai sesuatu yang baik dan fiktif (kata sifat) sesuatu yang buruk.

Dengan segenap kekuatan bulan dan energi alam gaib, saya coba mengaktifkan imajinasi saya. Pendapat Rocky terkait fiksi dan fiktif  ini saya lanjutkan pada kata yang berbeda. Nah, saya hanya akan ambil yang baik-baiknya saja.
  
Di dunia nyata, Afgan seorang penyanyi kondang yang terkenal karena lagu ‘sadis’ tergopoh-gopoh menemui sang pencipta lagu. Afgan baru tahu bahwa kata ‘sadis’ yang merupakan kata sifat, itu konotasinya buruk. Dia bilang ke Bebi Romeo, “mas, tolong ganti judul lagunya. Mulai hari ini sadis itu buruk, yang baik itu kesadisan.”

Lalu, sejarah akan mencatat, Bebi Romeo pernah menciptakan lagu berjudul Kesadisan yang diawali dengan lirik “terlalu kesadisan cara mu…”

Di tempat lain, lagu girlsband Cherybell yang berjudul Beautiful berubah judul jadi Beauty. Liriknya pun berganti dari  don't cry, don't be shy, kamu cantik apa adanya sadari, syukuri, dirimu sempurna,” menjadi “don't cry, don't be shy, kamu kecantikan apa adanya. Sadari, syukuri, dirimu kesempurnaan.”

Di bioskop-bioskop bisa saja sebagian dialog  film berubah. “Rangga apa yang kamu lakukan ke saya itu kejahatan!”

Yaelah cin... Kagak usah diubah jadi kata benda kalee. Udah bener yang kemarin itu pake diksi jahat (kata sifat),” kata Rangga meluruskan.

Tapi jika ada yang sadar dengan dunia imajinasi yang konyol ini, mungkin begini kejadiannya; “Milea kamu kecantikan. Tapi aku belum mencintaimu. Gak tau kalau sore. Tunggu aja,” kata Dilan pada Milea.

“Jadi menurut kamu aku sok kecantikan gitu? Dasar, semua cowok sama! Selalu salah menilai perempuan!”

"Kalau mencintaimu adalah kesalahan, ya sudah biar aku kesalahan terus saja." Sanggah Dilan.

“Kesalahan terus itu maksudnya apa?”  Milea nyolot.

“Milea, mulai hari ini (kata benda) kesalahan itu baik dan (kata sifat) salah itu buruk.”
Lu mabok ciu? Sejak kapan kata benda berarti baik dan kata sifat menjadi buruk? Dilan. Udah pada ngopi belum? Ngopi apa ngopi! Woi!!!”

Kekacauan peradaban bahasa ini saya pikir akan berlanjut jika saya tetap berkiblat pada kata sifat yang dianggap buruk dan yang baik itu kata benda.
 
Berkaca pada kekacauan logika Rocky tersebut, menurut saya Rocky tak cucok jadi pemikir. Beberapa argumennya kadang menyiksa logika sehat. Salah satu nya ialah tentang penilaian baik dan buruk pada kata fiksi dan fiktif.Argument lainnya ialah tentang jalan tol. 
 
Ia pernah bilang; membangun demokrasi bukan dengan jalan tol tapi dengan jalan pikiran. Yaelah pak, pak! Cebong sekolam juga tahu. Membangun demokrasi memang salah satunya dengan pikiran, bukan dengan jalan tol. Pemerintah sekarang membangun jalan tol bukan membangun demokrasi, tapi menegakkan sila kelima dari Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kalau di tanah Jawa banyak jalan tol, di Papua, Sulawesi juga harus dibangun pula jalan tol. Ini bicara keadilan sosial bung! Pak Rocky sih, gak pernah ngerasain hidup di luar jawa.

Hidup di luar jawa itu berat pak, lebih berat dari rindu Milea ke Dilan. Harga-harga gak sama dengan di Jawa. Ada selisih harga yang lumayan tajam.

Coba bapak.beli deh, rokok Sampurna Mild atau Indomie goreng di Jawa dengan di papua. Harganya pasti tak sama. Karena apa? Karena anda sedikit ngawur, pak Prov(okator) Rocki!

Eh salah.. Karena pabrik indomie dan Rokok dibangun di Jawa. Untuk distribusi ke Papua, butuh perjalanan panjang yang butuh banyak biaya. Ditambah dengan ketiadaan jalan tol, distributor pasti akan menaikkan harga produk berkali-kali lipat dengan harga yang ada di Jawa.

Jadi, jangan tuding Presiden sedang bangun demokrasi pakai jalan tol. Beda itu. Pukulan retorika Rocky keliru.

Daripada main pukul retorika pada pemerintah, sebaiknya Rocky adu tinju saja. Menurut saya, Rocky lebih cocok jadi petinju ketimbang pemikir.

Nanti enak dengernya kalo Rocky jadi petinju. Imajinasi saya aktifkan kembali, kira-kira bakal ada dialog kaya gini, "yak di sisi kanan ada Joko Wis Bedo sebagai penguasa arena dan juara bertahan. Di sisi kiri ada penantang baru; Rocky... GARAAAANG!"

Sebelum pertandingan tinju dimulai, Joko Wis Bedo, berbisik sesuatu ke Rocky. "Kalau bisa jawab pertanyaan saya, nanti dikasih hadiah sepeda."

Rocky nyahut "apa pertanyaannya?"

Dengan tatapan serius, petinju Joko Wis Bedo tanya, "kitab suci fiksi atau bukan?"
“Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, kitab suci itu adalah fiksi ,” jawab Rocky.

Tiba-tiba, GEDEBUK!! Rocky jatuh.

“Selamat datang di dunia imajinasi,” kata Joko Wis Bedo, setelah melayangkan tinjunya tepat di kepala Rocky Garang.[]

Rabu, 11 April 2018

Puisi Sukmawati dan Filsafat Pancasila Bung Karno






Andai saja setiap warga di negeri ini berpikiran seperti Sukarno, saya pikir tak akan terlalu emosi untuk memahami makna tersirat dari puisi Ibu Indonesia karangan Sukmawati. Ah, itu kan karena Sukarno bapaknya Sukmawati? Saya duga pertanyaan sumbang kaya begini akan mengalir deras dengan sendirinya.

Its oke, tapi saya berani jamin. Semisal Sukarno masih hidup dan Sukmawati bukan anak biologis Sang Proklamator, tak akan sulit bagi bung Karno untuk memahami maksud tersirat dari puisi Sukmawati. Apa sebab? Karena sekitar 73 tahun yang lalu Sukarno pernah bilang "dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan. Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia."

Bagi sukarno, dalam mendirikan Negara Indonesia kebangsaan lah yang lebih didahulukan ketimbang agama atau ketuhanan yang ia anut. “Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Saudara-saudara Islam lain, maafkanlah saya memakai perkataan kebangsaan ini (sebagai dasar negara)! Saya pun orang Islam,” lanjut Sukarno.

Bagi bung besar ini, Pancasila yang terdiri dari 5 sila dasar pertamanya ialah kebangsaan. Bukan Ketuhanan. Pada awalnya, urutan Pancasila ialah; 1. Nasionalisme/Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme/Prikemanusiaan; 3. Mufakat/Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; 5. Ketuhanan yang berkebudayaan. Nah, inilah konsep asli pancasila yang disampaikan Sukarno pada 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI. Dalam buku Filsafat Pancasila menurut Bung Karno, jika pancasila diperas menjadi 3 butir atau trisila, Sukarno bilang pancasila menjadi “Sosio nasional: nasionalisme dan internasional. Sosio demokrasi: demokrasi dengan kesejahteraan rakyat. (dan) Ketuhanan.” Jika mau diperas atau diekstrak lagi, “Trisila menjadi ekasila atau satu sila, yang intinya adalah gotong royong,” kata ayah Sukmawati ini.

Jadi, dasar Negara pertama, yang utama dan yang baik bagi Sukarno ialah kebangsaan (dalam artian lain bekerjasama-bergotongroyong), bukan Ketuhanan. Bahkan Ketuhanan diletakkan di nomor terakhir dari urutan pancasila. 
Kebangsaan yang termaktup dalam buku Filsafat Pancasila menurut Bung Karno ialah Negara yang ada untuk semua golongan, entah itu Islam, Kristen, Hindu, dan agama-agama lainnya. Karena kebangsaanlah yang akan dapat mempersatukan semuanya, tak hanya semua agama tapi juga semua etnis yang ada di bumi pertiwi ini.

Puisi sukmawati pun menurut saya bicara pada konteks kebangsaan. Sari konde Indonesia memang lebih indah dari cadar dalam perspektif kebangsaan. Sebab, sari konde bersifat universal untuk semua warga Indonesia. Ia bisa diterima oleh semua warga Indonesia, sedangkan cadar belum tentu bisa diterima oleh semua WNI. Umat muslim saja (yang perempuan), tidak semuanya menerima cadar sebagai pakaian, apalagi umat non muslim. Dalam konteks ini, sari konde tentu lebih ‘cantik’ dari cadar.  

Puisi Sukmawati jadi kontroversi menurut saya, karena kita masih menganggap prioritas bersikap dalam berbangsa adalah agama, bukan kebangsaan itu sendiri. Padahal kebangsaan itu adalah tempat berpijak semua orang di negeri ini. Jika ia pecah, maka umat beragama juga yang akan rugi. Umat beragama tak akan lagi nyaman beribadah. Seperti yang terjadi di Iraq dan Suriah, yang sebagian warganya lebih ngotot memprioritaskan pendirian Negara khilafah, yang ujung-ujungnya perang berkepanjangan.

Dengan terpaksa saya akui, bahwa kebangsaan kita  sebagai warga negeri ini memang kurang berkualitas. Mungkin saja Pancasila yang kita pelajari selama ini hanya sebatas hafalan, tanpa makna dan pemahaman folosofis yang mendalam.

Saran saya, buka dompet, siapkan uang puluhan ribu, buka situs toko online, lalu beli buku Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. Setelah beli, baca pelan-pelan, resapi pesan-pesan dan makna buku tersebut ketika lagi nyantai maupun pas lagi eek. Sekian.[]

Selasa, 10 April 2018

Revolusi Mental Jokowi dalam Dekapan Hantu-Hantu Politik






Dulu sekali di tahun 2014 saya ingat sesuatu. Wakil ketua DPR Fadli Zon pernah bilang bahwa revolusi mental yang digaungkan oleh Joko Widodo waktu pilpres lalu adalah berkaitan dengan ideologi PKI atau komunis.

Saya mengira, Fadli sepertinya terlalu terburu buru menilai. Ia terlalu dini memukulkan palu penghakimannya. 

Tapi ya saya harap maklum. Namanya saja politikus. Ngomong tanpa dasar yang kuat pun, its oke. Asal bisa meraup suara untuk memenangkan jagoannya.

Menurut saya, jauh sebelum pilpres 2014 istilah revolusi mental itu sudah dipakai oleh seorang pemikir filsafat asal Sumatera Barat. Yasraf Amir Piliang orangnya. 

Yasraf pada tahun 2003 menerbitkan buku yang ia beri judul Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial. Buku ini merupakan kumpulan artikel artikel pendeknya. Dalam buku ini ada artikel yang ia juduli dengan Libidosophy: Revolusi Mentalitas Bangsa. 

Saya sadar, bahwa Joko Widodo presiden saat ini, bukanlah seorang pemikir. Jadi saya ragu jika istilah revolusi mental adalah hasil ide Jokowi untuk menjelaskan visi misinya saat pilpres lalu.
Kemungkinan ada orang di belakang Jokowi yang memberi ide mengenai Revolusi Mental. 

Kecurigaan saya ini bukan tanpa sebab. Sebelumnnya akun @kurawa di Twitter pernah menyebut ide tol laut jokowi berasal dari RJ Lino, mantan dirut PT Pelindo II. Akun @kurawa sendiri ialah akun pendukung Jokowi sejak di pilkada DKI 2012 lalu.

Jadi, saya berkeyakinan kuat bahwa ide tentang revolusi mental bukan ide original dari Jokowi maupun dari pemikir-pemikir yang ada di belakangnya. Saya curiga bahwa ide revolusi mental disadur dari artikel Yasraf, yang ada di buku Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial yang terbit di tahun 2003.   

Di buku ini, Yasraf menulis “Orde Baru setidak-tidaknya meninggalkan dua warisan patologi mental kolektif. Pertama, gelora hasrat (kekayaan, kekuasaan, kebanggaan, yang tak terbendung telah mendorong berbagai bentuk negative narcistic desire yang menciptakan sikap mental konsumerisme, hedonis, oportunis, kolutif dan nepotis. Kedua, politik Machiavellian yang diterapkan dalam memenuhi gelora hasrat tak bertepi tersebut telah mengkontruksi secara sosial budaya kekerasan di masyarakat lewat teladan-teladan kekerasan yang dicontohkan penguasa.”

Lalu apa persamaannya dengan revolusi mental yang digaungkan Jokowi di pilpres lalu? Asal tahu saja, Di video kampanye yang diberi judul Revolusi Mental Jokowi (final), menyatakan revolusi mental didasari dari masih massifnya perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme walaupun orde baru sudah tumbang. “Reformasi yang mengantar kita ke era demokrasi sudah berjalan 16 tahun. Tetapi apa yang kita capai masih jauh dari yang semula dicita citakan. Kita geram tradisi-tradisi orde baru (korupsi, kolusi, nepotisme) masih berlangsung hingga sekarang, bahkan menjadi jadi,” kata isi video yang diunggah ke youtube tersebut. Sampai disini, saya pikir kita bisa menimbang-nimbang sendiri persamaan ide besar antara artikel Yasraf dengan video kampanye tim Jokowi.

Untuk menguatkan kemiripan ide besar tentang revolusi mental ala Jokowi ini, Yasraf sudah lebih dulu menulis: Kini, kita berjuang untuk memerangi mesin-mesin korupsi, kolusi dan nepotisme. Akan tetapi, ia tak lebih dari perjuangan hampa karena kita tak pernah memerangi akar dari semuanya, yaitu mesin penjara hasrat.

Jika Yasraf menyatakan bahwa kita tak pernah memerangi akar permasalahan revolusi mental dikarenakan terkungkung dengan mesin penjara hasrat, isi video Revolusi mental Jokowi (final) ngomong karena kita hanya sebatas perombakan institusi (belum merombak mental orangnya). 

Ini senada bangetlah dengan ide besar yang ada di artikel yang ditulis Yasraf 11 tahun sebelum pilpres 2014 berlangsung. Jadi apakah Jokowi atau orangdi belakang jokowi benar-benar menyadur ide Yasraf? Ah… kita tanyakan saja pada rumput yang bergoyang dangdut koplo.

Selain bicara tentang konsep revolusi mentalitas bangsa, Yasraf dibuku Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial juga bicara tentang demokrasi dialogis, hiperdemokrasi, hiperotonomi, politicus absurditas, parasit demokrasi, fatarmogana sosial, neoprimitivisme, genealogi disiplin bangsa, mengejar nomad nomad politik, menangkap hantu-hantu politik dan lain sebagainya. Bagi anda yang sedang menambah wawasan kebangsaan melalui pendekatan filsafat postmodern saya sarankan baca buku ini. Sumpah deh, gak bakal nyesel apa lagi nyesek. Sekian[]

Senin, 09 April 2018

Bukan Novel Biasa

 Sebuah Review Singkat Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck



Jika ada beberapa novel terbitan kekinian yang menyamai gaya bahasa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, saya akan pertimbangkan untuk membelinya. Saya serius. 

Bagi saya yang tak terlalu suka baca novel, pertimbangan untuk membeli beberapa atau sebuah novel sudah merupakan pengorbanan tingkat tinggi. Lalu mengapa patokannya jatuh pada novel Tenggelamnya Kapal  Van Der Wijck?

Novel ini menurut saya memiliki gaya bahasa nan tinggi. Gaya bahasa yang tak saya temui di novel-novel kekinian. Coba buka deh novel Hamka ini di halaman 26. Deskripsi keindahan sastra akan kita temui. 

Hayati, gadis remaja putri, ciptaan keindahan alam, lambaian gunung merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kokoh.

Tak hanya gaya bahasa nan indah. Salah satu masterpiece Hamka ini memiliki pesan sosial yang tinggi. Yakni, kritik pada adat istiadat Minangkabau.

Tak hanya sebagian, hampir seluruh sendi sendi utama adat istiadat Minangkabau dikritik habis melalui novel ini. Mulai dari status darah tulen minangkabau, sistem warisan, hingga konsepsi purba mengenai harta dan kebangsawanan yang dianggap lebih utama dalam menentukan jodoh.

Ketika melontarkan kritik terhadap status darah tulen minangkabau, Hamka menulis begini: Sudah hampir setahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini… Tanahmu yang indah, bahkan tanahku juga, Minangkabau senantiasa berdiri dalam semangatku.. Angan angan dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari. Sebab di negeri Mengkasar (Makasar) sendiri saya dipandang (sebagai) orang padang, bukan asli bugis atau mengkasar.. sekarang saya datang kemari, Hayati. Tak ubahnya dengan seorang musafir ditengah gurun yang luas keputusan (kehabisan) air; tiap - tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya danau yang luas di muka(wajah)nya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu, danau itu pun hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata kering dan panas.

Di tanah Minang sendiri, di Sumatera Barat sana, garis keturunan ditarik dari ibu. Klan atau marga seorang anak diambil dari klan ibu. Misalnya, jika dalam sebuah perkawinan, ayah bermarga Tanjung, ibu bermarga Chaniago, maka anak ikut marga ibunya. Padanya dilekatkan marga atau klan ibu, bukan klan ayahnya. Sialnya, Zainuddin sang tokoh utama dalam novel ini lahir dari ayah berdarah Minang dan ibu berdarah bugis. Di Minangkabau ia tidak diakui karena garis keturunan ditarik dari ibu, sedangkan di Makassar garis keturunan didasari dari nasab ayah.    

Selain mengkritik perihal status darah tulen dalam etnik Minangkabau, Hamka juga mengkritik sistem waris Minangkabau yang tak mewariskan harta sepeserpun kepada anak laki-laki, karena harta hanya bisa diwariskan kepada anak perempuan.

“Seorang anak muda bergelar Pandekar Sutan (Ayah zainuddin) kemenakan Datuk Mantari Labih, adalah kepala waris tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tak bersaudara perempuan. Menurut adat Minangkabau, amatlah malangnya seorang laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan, yang akan menjaga harta benda, sawah yang berjenjang, Bandar buatan, lumbung berpereng, rumah nan gadang (besar),” tulis Hamka.

Konflik besar dari keseluruhan cerita di novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, bermula dari sistem waris Minangkabau. Ayah Zainuddin yang tak terima dengan perangai mamaknya (pamannya) yang menguasai harta warisan ibunya, berujung pada terbunuhnya sang paman. 

Matinya Mantari Labih, membuat ayah Zainuddin terusir ke Makassar. Dan, dengan kehadiran tokoh Zainuddin sebagai the half blood (bukan darah tulen) etnik Minangkabau, membuat konflik makin rumit hingga diakhir cerita novel ini.

Terakhir, Hamka merajamkan kritik terbesarnya pada konsepsi purba mengenai harta dan kebangsawanan yang dianggap lebih utama dalam menentukan jodoh sepasang anak manusia. “Siapakah diantara kita yang kejam? Bukankah kau telah berjanji, seketika saya diusir ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang hina dina, tidak tulen Minangkabau. Ketika itu kau antarkan daku ke simpang jalan. Kau berjanji akan menunggu kedatanganku, meskipun akan berapa lamanya. Tetapi kemudian kau beroleh ganti yang lebih gagah, kaya raya, berbangsa beradat, berlembaga berketurunan,” tulis Hamka. Cadas!


 

Tutorial Mengaktifkan Imajinasi ala Rocky Gerung

Jagat raya Indonesia lagi heboh. Rocky Gerung, salah satu pengajar mata kuliah filsafat Universitas Indonesia di acara Indonesian L...