Jika ada
beberapa novel terbitan kekinian yang menyamai gaya bahasa Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck, saya akan pertimbangkan untuk membelinya. Saya serius.
Bagi saya
yang tak terlalu suka baca novel, pertimbangan untuk membeli beberapa atau
sebuah novel sudah merupakan pengorbanan tingkat tinggi. Lalu mengapa patokannya
jatuh pada novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck?
Novel ini
menurut saya memiliki gaya bahasa nan tinggi. Gaya bahasa yang tak saya temui di
novel-novel kekinian. Coba buka deh
novel Hamka ini di halaman 26. Deskripsi keindahan sastra akan kita temui.
Hayati, gadis remaja putri, ciptaan
keindahan alam, lambaian gunung merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat
istiadat yang kokoh.
Tak hanya
gaya bahasa nan indah. Salah satu masterpiece
Hamka ini memiliki pesan sosial yang tinggi. Yakni, kritik pada adat istiadat Minangkabau.
Tak hanya
sebagian, hampir seluruh sendi sendi utama adat istiadat Minangkabau dikritik
habis melalui novel ini. Mulai dari status darah tulen minangkabau, sistem warisan,
hingga konsepsi purba mengenai harta dan kebangsawanan yang dianggap lebih
utama dalam menentukan jodoh.
Ketika melontarkan
kritik terhadap status darah tulen minangkabau, Hamka menulis begini: Sudah
hampir setahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini… Tanahmu
yang indah, bahkan tanahku juga, Minangkabau senantiasa berdiri dalam
semangatku.. Angan angan dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku
kemari. Sebab di negeri Mengkasar (Makasar) sendiri saya dipandang (sebagai) orang
padang, bukan asli bugis atau mengkasar.. sekarang saya datang kemari, Hayati. Tak
ubahnya dengan seorang musafir ditengah gurun yang luas keputusan (kehabisan)
air; tiap - tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya danau yang luas di
muka(wajah)nya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu, danau itu pun
hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata kering dan panas.
Di tanah
Minang sendiri, di Sumatera Barat sana, garis keturunan ditarik dari ibu. Klan atau
marga seorang anak diambil dari klan ibu. Misalnya, jika dalam sebuah perkawinan, ayah bermarga Tanjung, ibu bermarga Chaniago, maka anak ikut marga ibunya. Padanya dilekatkan marga atau klan ibu, bukan klan ayahnya. Sialnya, Zainuddin sang tokoh utama dalam novel ini
lahir dari ayah berdarah Minang dan ibu berdarah bugis. Di Minangkabau ia tidak
diakui karena garis keturunan ditarik dari ibu, sedangkan di Makassar garis
keturunan didasari dari nasab ayah.
Selain
mengkritik perihal status darah tulen dalam etnik Minangkabau, Hamka juga
mengkritik sistem waris Minangkabau yang tak mewariskan harta sepeserpun kepada
anak laki-laki, karena harta hanya bisa diwariskan kepada anak perempuan.
“Seorang
anak muda bergelar Pandekar Sutan (Ayah zainuddin) kemenakan Datuk Mantari
Labih, adalah kepala waris tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia
tak bersaudara perempuan. Menurut adat Minangkabau, amatlah malangnya seorang
laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan, yang akan menjaga harta
benda, sawah yang berjenjang, Bandar buatan, lumbung berpereng, rumah nan
gadang (besar),” tulis Hamka.
Konflik besar
dari keseluruhan cerita di novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, bermula dari
sistem waris Minangkabau. Ayah Zainuddin yang tak terima dengan perangai
mamaknya (pamannya) yang menguasai harta warisan ibunya, berujung pada terbunuhnya
sang paman.
Matinya Mantari Labih, membuat ayah Zainuddin terusir ke Makassar. Dan,
dengan kehadiran tokoh Zainuddin sebagai the
half blood (bukan darah tulen) etnik Minangkabau, membuat konflik makin
rumit hingga diakhir cerita novel ini.
Terakhir,
Hamka merajamkan kritik terbesarnya pada konsepsi purba mengenai harta dan
kebangsawanan yang dianggap lebih utama dalam menentukan jodoh sepasang anak
manusia. “Siapakah diantara kita yang kejam? Bukankah kau telah berjanji,
seketika saya diusir ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang hina dina,
tidak tulen Minangkabau. Ketika itu kau antarkan daku ke simpang jalan. Kau berjanji
akan menunggu kedatanganku, meskipun akan berapa lamanya. Tetapi kemudian kau
beroleh ganti yang lebih gagah, kaya raya, berbangsa beradat, berlembaga berketurunan,”
tulis Hamka. Cadas!
Kusuka novel dengan setting sosial seperti ini
BalasHapusTapi jujur, kutak suka bahasa yang berbunga2 😁😁😁