Senin, 09 April 2018

Bukan Novel Biasa

 Sebuah Review Singkat Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck



Jika ada beberapa novel terbitan kekinian yang menyamai gaya bahasa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, saya akan pertimbangkan untuk membelinya. Saya serius. 

Bagi saya yang tak terlalu suka baca novel, pertimbangan untuk membeli beberapa atau sebuah novel sudah merupakan pengorbanan tingkat tinggi. Lalu mengapa patokannya jatuh pada novel Tenggelamnya Kapal  Van Der Wijck?

Novel ini menurut saya memiliki gaya bahasa nan tinggi. Gaya bahasa yang tak saya temui di novel-novel kekinian. Coba buka deh novel Hamka ini di halaman 26. Deskripsi keindahan sastra akan kita temui. 

Hayati, gadis remaja putri, ciptaan keindahan alam, lambaian gunung merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kokoh.

Tak hanya gaya bahasa nan indah. Salah satu masterpiece Hamka ini memiliki pesan sosial yang tinggi. Yakni, kritik pada adat istiadat Minangkabau.

Tak hanya sebagian, hampir seluruh sendi sendi utama adat istiadat Minangkabau dikritik habis melalui novel ini. Mulai dari status darah tulen minangkabau, sistem warisan, hingga konsepsi purba mengenai harta dan kebangsawanan yang dianggap lebih utama dalam menentukan jodoh.

Ketika melontarkan kritik terhadap status darah tulen minangkabau, Hamka menulis begini: Sudah hampir setahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini… Tanahmu yang indah, bahkan tanahku juga, Minangkabau senantiasa berdiri dalam semangatku.. Angan angan dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari. Sebab di negeri Mengkasar (Makasar) sendiri saya dipandang (sebagai) orang padang, bukan asli bugis atau mengkasar.. sekarang saya datang kemari, Hayati. Tak ubahnya dengan seorang musafir ditengah gurun yang luas keputusan (kehabisan) air; tiap - tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya danau yang luas di muka(wajah)nya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu, danau itu pun hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata kering dan panas.

Di tanah Minang sendiri, di Sumatera Barat sana, garis keturunan ditarik dari ibu. Klan atau marga seorang anak diambil dari klan ibu. Misalnya, jika dalam sebuah perkawinan, ayah bermarga Tanjung, ibu bermarga Chaniago, maka anak ikut marga ibunya. Padanya dilekatkan marga atau klan ibu, bukan klan ayahnya. Sialnya, Zainuddin sang tokoh utama dalam novel ini lahir dari ayah berdarah Minang dan ibu berdarah bugis. Di Minangkabau ia tidak diakui karena garis keturunan ditarik dari ibu, sedangkan di Makassar garis keturunan didasari dari nasab ayah.    

Selain mengkritik perihal status darah tulen dalam etnik Minangkabau, Hamka juga mengkritik sistem waris Minangkabau yang tak mewariskan harta sepeserpun kepada anak laki-laki, karena harta hanya bisa diwariskan kepada anak perempuan.

“Seorang anak muda bergelar Pandekar Sutan (Ayah zainuddin) kemenakan Datuk Mantari Labih, adalah kepala waris tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tak bersaudara perempuan. Menurut adat Minangkabau, amatlah malangnya seorang laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan, yang akan menjaga harta benda, sawah yang berjenjang, Bandar buatan, lumbung berpereng, rumah nan gadang (besar),” tulis Hamka.

Konflik besar dari keseluruhan cerita di novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, bermula dari sistem waris Minangkabau. Ayah Zainuddin yang tak terima dengan perangai mamaknya (pamannya) yang menguasai harta warisan ibunya, berujung pada terbunuhnya sang paman. 

Matinya Mantari Labih, membuat ayah Zainuddin terusir ke Makassar. Dan, dengan kehadiran tokoh Zainuddin sebagai the half blood (bukan darah tulen) etnik Minangkabau, membuat konflik makin rumit hingga diakhir cerita novel ini.

Terakhir, Hamka merajamkan kritik terbesarnya pada konsepsi purba mengenai harta dan kebangsawanan yang dianggap lebih utama dalam menentukan jodoh sepasang anak manusia. “Siapakah diantara kita yang kejam? Bukankah kau telah berjanji, seketika saya diusir ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang hina dina, tidak tulen Minangkabau. Ketika itu kau antarkan daku ke simpang jalan. Kau berjanji akan menunggu kedatanganku, meskipun akan berapa lamanya. Tetapi kemudian kau beroleh ganti yang lebih gagah, kaya raya, berbangsa beradat, berlembaga berketurunan,” tulis Hamka. Cadas!


 

1 komentar:

  1. Kusuka novel dengan setting sosial seperti ini


    Tapi jujur, kutak suka bahasa yang berbunga2 😁😁😁

    BalasHapus

Tutorial Mengaktifkan Imajinasi ala Rocky Gerung

Jagat raya Indonesia lagi heboh. Rocky Gerung, salah satu pengajar mata kuliah filsafat Universitas Indonesia di acara Indonesian L...